Subscribe Us

PENGELOLAAN PERILAKU AFEKTIF KEAGAMAAN SISWA


INTISARI PENELITIAN

WAWAN RIDWAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Memenuhi tujuan agama yaitu memberikan kontribusi terhadap terwujudnya kehidupan religiositas.[1] Peningkatan perilaku keagamaan tidak terlepas dari pendidikan. Pendidikan dalam   realisasinya   dapat   berlangsung   secara   formal   (sekolah), nonformal (masyarakat) dan informal (keluarga)[2].  Dari ketiga jalur pendidikan tersebut, pendidikan formal atau pendidikan yang berlangsung dalam sekolah menempati peranan yang cukup penting, karena selain lingkungan keluarga, sekolah merupakan salah satu lembaga bagi setiap anak untuk mengembangkan dirinya.
Esensi pendidikan merupakan proses menghadirkan situasi dan kondisi yang memungkinkan sebanyak mungkin subjek didik memperluas dan memperdalam makna-makna esensial untuk mencapai kehidupan manusiawi. Sehingga bisa meningkatkan perilaku kehidupannya yang sesuai dengan nilai dan norma agama.
Haryu menyatakan :
Pendidikan memiliki tugas untuk mengembangkan kesadaran atas tanggung jawab setiap manusia demi kelangsungan hidupnya. Peningkatan terhadap rasa tanggung jawab global ini memerlukan informasi yang cepat dan tepat serta kecerdasan yang memadai.Tingkat kecerdasan suatu bangsa yang rendah akan berimplikasi terhadap rendahnya mutu SDM yang dimiliki, sehingga sukar untuk dapat meningkatkan rasa tanggungjawabnya terhadap perbaikan kehidupannya sendiri apalagi kehidupan global. Oleh karena itu dituntut adanya pendidikan yang berkualitas.[3]

Hal senada diungkapkan oleh Joni  bahwa :

Pendidikan bukan hanya sekedar membuat peserta didik pandai menghapal tetapi yang lebih penting ialah menjadikannya sebagai manusia, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Pendidikan adalah proses huminisasi dan proses humanisasi seseorang dalam kehidupan keluarga, masyarakat yang berbudaya kini dan masa depan.[4]

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa:  
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[5]  

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang dipercaya masyarakat untuk mendidik putra-putrinya, selain memberikan bekal ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS), hendaknya juga mampu mengembangkan aspek-aspek nilai moral dan keagamaan dalam rangka pembentukan sikap dan perilaku generasi bangsa yang berbudi pekerti luhur (berakhlak mulia), sehingga mampu menjadi bangsa yang beradab dan bermartabat.
Berkenaan dengan konsep pendidikan Islam, Muhammad Athiah al-Abrasyi menyatakan bahwa “…tujuan hakiki pendidikan adalah kesempurnaan akhlaq”. Sebab itu ruh pendidikan Islam adalah pendidikan akhlaq.[6]
Pendidikan keaagamaan merupakan bagian terpenting yang harus dilaksanakan dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik untuk menjadi manusia yang berakhlak mulia (bermoral). Sebab  dewasa ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis  yang berkepanjangan,  terutama  krisis  moral. Memiliki  ilmu  yang tinggi  tanpa dibarengi dengan keimanan dan ketaqwaan dapat membahayakan dan merusak tatanan hidup umat manusia itu sendiri, karena akan melahirkan manusia-manusia yang rakus yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa mempedulikan kepentingan umum. Pendidikan keagamaan yang diimplementasikan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan, bimbingan, pengajaran dan atau latihan[7]. Adapun tujuan pelaksanaan   pembelajaran   Pendidikan   Agama   Islam (PAI)   di   sekolah   adalah   untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, serta pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[8] Peserta didik dapat mengembangkan potensinya menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[9]
Baik buruknya perilaku individu tidak terlepas dari bagaimana individu tersebut bisa mengelola dirinya sendiri dalam berperilaku. Goleman sebagaimana dikutip Jacinta Winarno menyatakan bahwa pengelolaan diri merupakan  Penanganan perasaan agar perasaan dapat terungkap dalam tingkatan yang terkendali[10] Perilaku adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Maka dapat dipahami bahwa perilaku (aktivitas) yang ada pada individu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi akibat dari adanya rangsang yang mengenai individu tersebut.[11]
Hasil belajar pada aspek afektif bersangkut paut dengan sikap mental, perasaan dan kesadaran yang diperoleh melalui proses internalisasi, yaitu suatu proses kearah pertumbuhan batiniyah atau rohaniyah siswa. Pertumbuhan itu terjadi ketika siswa menyadari sesuatu “nilai” yang terkandung dalam pengajaran agama dan kemudian niali-nilai itu dijadikan suatu “sistem nilai diri”, sehingga menuntun segenap pernyataan sikap, tingkah laku dan perbuatan moralnya dalam menjalani kehidupan ini.[12]
Namun, fenomena yang terjadi belakangan ini seperti munculnya kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, keterlibatan dalam  pencurian,  serta  adanya  berita  tertangkapnya  siswa  mabuk-mabukan.  Dalam ruang lingkup kenakalan yang lebih kecil seperti siswa membolos, berkata yang tidak sesuai dengan ajaran agama atau etika, bahkan sering kita dengar tiap hari anak-anak dengan enaknya berkata-kata jorok tidak sopan. Demikian  juga dengan sikap mereka terhadap orang yang lebih tua, tidak mengindahkan etika dan sopan santun. Padahal kita ketahui bahwa mereka adalah anak anak yang yang menjadi siswa siswi yang mengikuti pendidikan di sekolah baik sekolah umum, keagamaan maupun kejuruan.
Kondisi yang ada tersebut ternyata belum menyentuh sampai kepada afeksi atau nilai kesadaran para siswa terbukti masih banyak para siswa yang ketika waktu shalat dzuhur mereka tidak melaksanakannya secara berjamaah di masjid lingkungan sekolah[13] , kesadaran untuk hadir pada setiap kegiatan pembinaan keagamaan dan kerohanian belum bisa dikategorikan sangat baik, sebagai bukti pada setiap kegiatan pembinaan tersebut selalu ada siswa yang tidak hadir. Budaya salam baik secara ucapan maupun berjabat tangan masih belum maksimal, masih banyak siswa yang berbicara belum sesuai dengan adab etika yang seharusnya, hal tersebut juga menjadi cerminan sampai sejauhmana pengelolaan perilaku afektif keagamaan mereka.[14]
Seorang guru PAI telah memberikan pemahaman keagamaan dalam proses pembelajaran, namun lebih pada pemahaman pada aspek kognitif saja, sedangkan aspek afektif belum diperhatikan secara maksimal. Namun demikian siswa perlu menyadari kemampuan diri dalam memaham pelajaran sehingga mampu menerapkan dan mengelola perilakunya kedalam kehidupan sehari-hari.
Siswa dianggap baik adalah siswa yang mencerminkan dirinya sebagai seorang peserta didik yang memiliki perilaku afektif keagamaan yang baik.  Aspek pengelolaan diri merupakan salah satu aspek yang cukup penting agar perilaku afektif keagamaanya baik pula. Sebagaimana filsafat Realisme kritis dari Imannuel Kant yang menyatakan bahwa “ Manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan-perbuatan baik.[15] Serta dijelaskan dalam Al-Quran surat al-Imran (3) ayat 134 : “..Allah mencintai orang yang berbuat kebajikan..”[16] serta HR. Aisyah bahwa : “ Sebaik-baik kamu ialah orang yang terbaik akhlaq budi pekertinya”.[17]
Pengelolaan diri memiliki peranan penting dalam menentukan perilaku afektif keagamaanya, sebagaimana julaiha menyatakan bahwa manajemen diri jika dihubungkan dengan peningkatan kualitas insani adalah adanya usaha untuk memenej hati nurani untuk menemukan kembali fitrah manusia yaitu kembali keagama Islam,[18] artinya dengan pengelolaan diri yang baik maka akan tampak  akhlak dan seluruh sikap perilakunya yang baik pula yang tercermin dalam sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. Aspek-aspek tersebut dapat dilihat dalam bentuk kedisiplinan, kebersihan, kesehatan, tanggungjawab, sopan santun, percaya diri, kompetitif, hubungan sosial, kejujuran, serta pelaksanaan ibadah ritual. Sebagai entuk perilaku. Sebagaimana lebih lanjut dijelaskan oleh Julaiha bahwa proses ini berbagai pilihan mendasar tentang masa depan kehidupan yang akan dilalui, upaya atau tindakan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan hidup.[19]
Pengelolaan perilaku afeksi merupakan pengelolaan nilai-nilai dan sikap melalui proses belajar mengajar pendidikan agama Islam di sekolah yang sering disebut dengan pendidikan akhlak, yaitu: “pengajaran tentang bentuk batin seseorang yang kelihatan pada tindak tanduknya (tingkah lakunya)”.[20]  Pengelolaan perilaku afektif keagamaan ini bisa diperoleh melalui proses internalisasi sekolah, yaitu suatu proses kearah pertumbuhan bathiniyah atau rohaniah siswa. Pertumbuhan ini terjadi ketika siswa menyadari sesuatu “nilai” yang terkandung dalam pengajaran agama dan kemudian nilai itu dijadikan suatu “sistem nilai diri”, sehingga menuntun segenap pernyataan  sikap, tingkah laku dan perbuatan moralnya dalam menjalani kehidupan ini.[21]
Siswa mengikuti proses kegiatan belajar mengajar dalam mencapai tujuan supaya yang diajar berakhlak baik. Akhlak merupakan produk dari pengembangan afeksi yang berhubungan dengan sikap mental, perasaan dan kesadaran siswa,[22] sedangkan perilaku agama berhubungan dengan usaha mendekatkan diri kepada Allah sebagai sang pencipta.[23] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, orang atau anak yang di didik itu memiliki bentuk batin yang baik menurut ukuran nilai ajaran Islam, dan bentuk batin ini hendaknya kelihatan tindak-tanduknya sehari-hari. Dalam bentuk yang sederhana dapat dikatakan supaya orang atau anak berakhlak baik terpuji menurut ajaran Islam.
Pengelolaan diri berperan penting dalam menentukan perilaku seseorang guna mengetahui diri kita sepenuhnya mengatasi konflik yang ada pada dirinya, dan untuk menafsirkan pengalaman yang didapatnya. Oleh karena itu konsep diri diperlukan seseorang untuk dijadikan sebagai acuan hidup.
Perilaku afektif keagamaan siswa juga dipengaruhi faktor internal dan eksternal, faktor internal meliputi pengalaman pribadi, pengaruh emosi, dan minat, sedangkan faktor eksternal meliputi pengalaman dan interaksi.


BAB II
LANDASAN TEORI 
TENTANG PENGELOLAAN PERILAKU AFEKTIF
KEAGAMAAN SISWA

A.      Landasan Teologis
Landasan teologis merupakan landasan yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadist yang menjadi rujukan dalam penelitian skripsi tentang  pengelolaan perilaku afektif keagamaan siswa.
1.      Landasan Teologis tentang Pengelolaan Diri
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surat al-Imran (3) ayat 134 :
فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤
“Baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan”.[24]

Ayat ini, menganjurkan peningkatan usaha dalam mengelola diri, melukiskan upaya itu bagaikan satu perlombaan, dan kompetisi yang memang merupakan salah satu cara peningkatan kualitas. sebagai muslim harus bias mengatur diri, menahan hawa nafsu dan dan berbesar hati memaafkan kesalahan orang lain. Allah SWT mengingatkan bahwa yang disukainya adalah orang-orang yang berbuat kebajikan, sebagai bentuk nilai sikap agama yang baik sebagai bagian dari ketaqwaan kepada Allah SWT.[25]  Sebagaimana dijelaskan pula dalam  nasehat oleh Rasulullah SAW kepada sahabatnya, Abu Dzar r.a.
 اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada, dan susullah sesuatu perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan bergaullah sesama manusia dengan akhlaq yang baik”.(HR. at-Tirmidzi, dihasankan asy-Syaikh al-Albani).[26]
Rasulullah SAW berpesan agar selalu bertaqwa di setiap tempat. Artinya seorang muslim dituntut memiliki komitmen dan konsistensi untuk senantiasa menjaga integritasnya. Rasulullah SAW meminta umatnya, melalui nasihat kepada Abu Dzar, agar menyusul setiap kesalahan dengan kabaikan. Seorang muslim tak kan bisa melepaskan sifat manusiawinya, yaitu sering kali khilaf dan berbuat salah. Karena itu, ada eksepsi dari karakter alami manusia ini, yaitu mem-follow-up kesalahan dengan perbaikan.
Pengelolaan diri juga mencerminkan konsep perbaikan terus menerus. Pribadi yang jujur, sopan santun, menjaga perkataan, pemurah, penyabar, dll adalah daya rekat yang kuat agar orang lain mendekat.[27]
2.      Landasan Teologis Tentang Perilaku Afektif Keagamaan
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat al-Araaf’ (7) ayat 199 :
خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ ١٩٩
Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.[28]

Agama Islam  memandang manusia sebagai mahluk yang paling sempurna yang di ciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan perilaku atau akhlak adalah salah satu hal yang paling utama. Abuddin Nata mengatakan bahwa ada lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak.
Pertama perbuatan akhlak tersebut sudah menjadi kepribadian yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang. Kedua perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang dilakukan dengan acceptable dan tanpa pemikiran (unthouhgt). Ketiga, perbuatan akhlak merupakan perbuatan tanpa paksaan. Keempat, perbuatan dilakukan dengan sebenarnya tanpa ada unsur sandiwara. Kelima, perbuatan dilakukan untuk menegakkan kalimat Allah.[29]

 Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda “ Sebaik-baik kamu ialah orang yang terbaik akhlaq budi pekertinya”(HR. Aisyah).[30]  Serta dijelaskan pula dalam H.R. Ibnu Majah.
الا يمان معرفة بالقلب وقول باللسان و عمل بالاركان
(رواه  ابن ماجه)
Sesungguhnya iman itu dilihat dengan hati dan diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.” (HR. Ibnu Majah).[31] 

Bahwa iman itu dapat kita lihat dari berbagai cara, baik dari perbuatan atau amalan kita setiap hari, serta dapat kita lihat pula dari hati. Penjelasan ini pula dapat dipahami bahwa dengan pengelolaan perilaku afektif keagamaan yang baik maka Allah SWT menjamin kebaikan di dunia serta nanti di akhirat.
B.       Landasan Filosofis : Filsafat Realisme Kritis ( Imannuel Kant )
Landasan filosofis merupakan landasan rasional yang bersifat hakikiyah untuk memahami pengelolaan perilaku afektif keagamaan. Adapun landasan filosofis dari penelitian ini yaitu tentang pengelolaan perilaku afektif keagamaan siswa adalah filsafat Realisme kritis dari Imannuel Kant bahwa “ Manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan-perbuatan baik.[32]
Uyoh menjelaskan apa yang disampaikan Kant tersebut bahwa ”Hukum moral tersebut menyatakan bahwa tiap manusia harus selalu melakukan sesuatu yang oleh semua manusia tindakan tersebut wajib berlaku “jujur”, “adil”, “iklas”, “pemaaf”, “kasih sayang sesama manusia”.[33]
Selanjutnya Ajat menguatkan pendapat Kant bahwa :
Tabiat manusia sesuai dengan asal penciptaannya yang tidak berpihak kepada kebajikan dan keburukan atau kejahatan. Ia mempunyai dan memiliki potensi dan kesiapan untuk berbuat baik dan buruk, sesuai pendidikan serta situasi dan kondisi lingkungan yang mengarahkannya.[34]


C.      Landasan Teoretis : (Teori Konsep Diri Paul J. Centi Dan Roger Serta Teori Perilaku Afektif Benjamin S. Bloom)

Skripsi ini dilandasi oleh landasan teori konsep diri dari Paul J. Centi dan Roger serta perilaku afektif dari Benjamin S. Bloom.
Paul J. Centi menyatakan :
Konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri, konsep diri terdiri dari bagaimana kita melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita meniginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana kita harapkan.[35]
Roger menyatakan :
Konsep diri berperan penting dalam menentukan perilaku seseorang guna mengetahui diri kita sepenuhnya mengatasi konflik yang ada pada dirinya, dan untuk menafsirkan pengalaman yang didapatnya. Oleh karena itu konsep diri dperlukan seseorang untuk dijadikan sebagai acuan hidup.[36]

Konsep ini berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan penilaian remaja terhadap moralitas diri sendiri. Konsep ini berkaitan dengan nilai dan prinsip yang berarti member arti dan arah bagi kehidupan seseorang. Seseorang digolongkan memiliki konsep diri moral etik positif apabila memandang dirinya sebagai orang yang berpegang teguh pada nilai-nilai etik moral. Sebaliknya digolongkan memiliki konsep diri moral etik negative apabila seseorang memandang dirinya sebagai orang yang menyimpang dari standar nilai moral yang seharusnya diikutinya. Bloom membagi perilaku manusia kedalam 3 domain ranah atau kawasan yakni: kemampuan intelektual (intellectual behaviors) yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.[37]  
Menurut Bloom perilaku afektif, yaitu :
Internalisasi sikap yang menunjuk ke arah pertumbuhan batiniah dan terjadi bila peserta didik menjadi sadar tentang nilai yang diterima, kemudian mengambil sikap sehingga menjadi bagian dari dirinya dalam membentuk nilai dan menentukan tingkah laku.[38]

Ranah Afektif mencakup segala sesuatu yang terkait dengan emosi, misalnya perasaan, nilai, penghargaan, semangat,minat, motivasi, dan sikap.[39] Aspek afektif pada dasarnya adalah aspek penerimaan nilai yang diajarkan, aspek batin.[40] Selanjutnya Bloom membagi domain afektif kedalam jenjang : 1) Kemauan menerima (receiving), 2). Kemauan menanggapi / menjawab (responding), 3) Menilai (valuing), 4). Organisasi (organization).[41]
Berkaitan dengan afektif keagamaan Muhamad Abduh menyatakan  bahwa : “Pendidikan moral spiritual yaitu menanamkam nilai-nilai agama kepada peserta didik agar mereka mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.[42]

D.      Konsep Dasar
1.      Keagamaan
a.      Pengertian Keagamaan
            Secara etimologi, istilah keagamaan itu berasal dari kata “Agama” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” sehingga menjadi keagamaan. Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah : sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan , atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.[43]
            Anshari mengemukakan bahwa :
            Agama dalam arti luas merupakan suatu penerimaan terhadap aturan-aturan dari suatu kekuatan yang lebih tinggi, dengan jalan melakukan hubungan yang harmonis dengan realitas yang lebih agung dari dirinya sendiri, yang memerintahkan untuk mengadakan kebaktian, pengabdian, dan pelayanan yang setia.[44]

Keagamaan adalah segala sesuatu mengenai agama.[45] Artinya bahwa keagamaan adalah sifat-sifat yang terdapat dalam agama atau segala sesuatu mengenai agama, misalnya perasaan keagamaan, permasalahan  keagamaan. Menurut Koentjaraningrat, agama merupakan suatu sistem yang terdiri atas empat komponen:
1)      Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religius;
2)      Sistem   keyakinan   yang   mengandung   segala   keyaki nan   serta bayangan manusia tentang sifat-sifat tuhan , wujud alam gaib, serta segala nilai, norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan;
3)      Sistem ritus  dan  upacara  yang  merupakan  usaha  manusia  untuk mencari hubungan dengan tuhan , dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib;
4)      Umat  atau  kesatuan  sosial   yang   menganut  sistem   keyaki nan tersebut butir b, dan yang melakukan sistem ritus dan upacara tersebut butir c.[46]
Empat hal tersebut diatas sangat memiliki keterkaitan sebagai sebuah system yang terintegrasi. Dimana hal tersebut mengikat sebuah kesatuan antara kepentingan agama, emosi keagamaan, sistem keyakinan hingga sistem ritual agama. Secara substansial manusia sudah sejak awalnya mengakui dan meyakini adanya agama, meyakini adanya satu kekuatan (Tuhan) yang mampu mengatasi segala permasalahan yang diyakininya telah menciptakan dan menguasai kehidupan alam raya ini. Artinya pengetahuan tentang adanya Tuhan telah secara sadar dimiliki oleh setiap manusia. Inilah yang kemudian yang menjadikan manusia disebut sebagai Homo Religious..[47]
Nilai-nilai keagamaan tidak hanya menunjukkan hubungan manusia dengan Rabnya, melainkan menunjukkan juga hubungan dengan sesama manusia. Nilai-nilai keagamaan menunjukkan bahwa tidak dikatakan sempurna penghayatan serta keimanan seseorang dihadapan Rabnya, sebelum manusia mencintai sesamanya, seperti dia mencintai dirinya sendiri.[48]


b.      Perkembangan Keagamaan Siswa
Mulyani Sumantri dan Nana Syaodih mengemukakan profil perkembangan agama dan keyakinan siswa usia sekolah menengah sebagai  berikut :
1)        Eksistensi dan sifat kemurahan serta keadilan Tuhan mulai difahamkan dan dihayati menurut system kepercayaan atau agama yang dianutnya.
2)        Penghayatan dan pelaksanaan kehidupan keagamaan sehari-hari mulai dilakukan atas dasar kesadaran dan pertimbangan hati nuraninya sendiri yang tulus ikhlas.
3)        Mulai menemukan pegangan hidup yang definitif.[49]

c.       Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keagamaan Siswa
Keagamaan seseorang ditentukan dari banyak hal, di antaranya: pendidikan keluarga, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilakukan pada waktu kita kecil atau pada masa kanak-kanak. Seorang siswa yang pada masa kecilnya mendapat pengalaman-pengalaman agama dari kedua orang tuanya, lingkungan sosial dan teman-teman yang taat menjalani perintah agama serta mendapat pendidikan agama baik di rumah maupun di sekolah, sangat berbeda dengan siswa yang tidak pernah mendapatkan pendidikan agama di masa kecilnya, maka pada dewasanya ia tidak akan merasakan betapa pentingnya agama dalam hidupnya. Orang yang mendapatkan pendidikan agama baik di rumah mapun di sekolah dan masyarakat, maka orang tersebut mempunyai kecenderungan hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, dan takut melanggar larangan-larangan agama. [50]
Thoules menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi religiusitas, yaitu:
1.        Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial) yang mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan, termasuk pendidikan orang tua, tradisi-tradisi sosial untuk menyesuaikan dengan berbagai pendapatan sikap yang disepakati oleh lingkungan.
2.        Berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman mengenai: (a) Keindahan, keselarasan dan kebaikan didunia lain (faktor alamiah); (b) Adanya konflik moral (faktor moral); (c) Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif)
3.        Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri, dan ancaman kematian.[51]

2.      Perilaku Afektif
a.      Pengertian Perilaku Afektif
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Perilaku mmemiliki arti : “tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan”.[52] Perilaku adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Dan pendapat di atas disimpulkan bahwa perilaku (aktivitas) yang ada pada individu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi akibat dari adanya rangsang yang mengenai individu tersebut.[53] Perilaku merupakan cerminan kongkret yang tampak dalam sikap, perbuatan dan kata-kata yang muncul karena proses pembelajaran, rangsangan dan lingkungan.[54]
Afektif memiliki makna yang berkenaan dengan perasaan (seperti takut, cinta) atau mempengaruhi keadaan perasaan dan emosi.[55] Ranah afektif diartikan sebagai penilaian terhadap sikap (respon atau minat, perasaan dan emosi) dan nilai (perilaku yang sesuai dengan kepatutan agama serta sosial) yang lebih sulit diukur dari pada ranah lainnya. Sebagaimana menurut Bloom yang dikutip dalam Permendiknas Nomor 20 tahun 2007 bahwa hasil belajar menurut Bloom mencakup prestasi belajar, kecepatan belajar, dan hasil afektif. Bahwa karakteristik manusia itu terdiri dari berbagai tipikal yang meliputi tindakan berpikir, berbuat (praktik), dan perasaan. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan. Untuk ranah afektif mencakup watak perilaku yang spontan (reflek) seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai.
Tentang kemampuan afektif manusia Akhmad Sudrajat menerangkan:
Kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat.[56]
Sedangkan Zainal Arifin menjelaskan bahwa:
Domain afektif (affective domain), yaitu internalisasi sikap yang menunjuk ke arah pertumbuhan batiniah dan terjadi bila peserta didik menjadi sadar tentang nilai yang diterima, kemudian mengambil sikap sehingga menjadi bagian dari dirinya dalam membentuk nilai dan menentukan tingkah laku.[57]

Dalam ranah pendidikan penanaman nilai dan pembentukan sikap merupakan bagian dari pembelajaran ranah afektif. Pernyataan ini diungkapkan oleh Popham yang menyatakan :”pembelajaran ranah afektif merupakan pembelajaran yang membentuk nilai kejujuran, integritas, kepercayaan diri dan sifat-sifat lainnya ke dalam diri peserta didik”.[58] Menurutnya, ranah afektif  adalah hasil belajar terkait sikap dan norma yang dimiliki peserta didik misalnya harga diri, tanggung jawab, dan sikap dalam belajar. Senada dengan dengan Popham, Shepard menyatakan bahwa domain afektif adalah domain tentang nilai, sikap dan perilaku di mana ia merupakan hirarki dari kemampuan menerapkan sikap dan nilai yang sesuai dengan situasi tertentu dan mengubah perilaku.[59]
Solichin, memperkuat pemahaman Popham dan Sephard, bahwa :
Pembelajaran moral untuk mengembangkan aspek afektif sebagai unsur perasaan moral, terwujud dalam suatu kemampuan untuk  mengambil sudut pandang orang lain untuk menempatkan dirinya  ke dalam posisi orang lain, merupakan sumber kesadaran akan hak-hak orang lain dan kewajiban diri sendiri dalam hubungannya dengan alam sekitarnya.[60]

Diperkuat oleh Arifin bahwa :
Sikap merupakan suatu kecenderungan tingkah laku untuk berbuat sesuatu dengan cara, metode, teknik dan pola tertentu terhadap dunia sekitarnya, baik berupa orang-orang maupun berupa objek-objek tertentu. Sikap mengacu kepada perbuatan atau perilaku seseorang, tetapi tidak berarti semua perbuatan identik dengan sikap. Perbuatan seseorang mungkin saja bertentangan dengan sikapnya.[61]

Dalam sudut pandang keagamaan dan pendidikan agama Islam, bahwa afektif atau sikap merupakan bagian dari nilai-nilai akhlak. Sebagaimana dijelaskan dalam Juknis Penyusunan Perangkat Penilaian Afektif Di SMA bahwa; “Aspek afektif yang dominan pada mata pelajaran Pendidikan Agama meliputi aspek penanaman nilai–nilai akhlak.[62] serta tertuang dalam Penyusunan Laporan Hasil Belajar Peserta Didik.[63]
Ibn Miskawaih menyatakan : “Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dahulu.[64]
Sedangkan Imam Al-Ghazali berpendapat :
Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbanagan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara', maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.[65]

Hal senada dinyatakan Ahmad Amin : “Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak. Menurutnya kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah imbang, sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya, Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan besar inilah yang bernama akhlak.[66]
Indikator dari seseorang yang mempunyai kecerdasan afektif adalah sikapnya yang selalu ingin menampilkan sikap ingin dipercaya (kredibel), menghormati dan dihormati. Pendidikan agama mempunyai kepentingan yang besar dengan aspek ini karena lebih menekankan kepada pembentukan kepribadian, pembentukan sikap, pembentukan karakter, pemupukan perasaan, penyempurnaan akhlak, penanaman keimanan dan ketakwaan. Oleh karena itu, sangat perlu dilaksanakan penilaian afektif ini yang memang tampaknya belum begitu mendapat perhatian.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ranah afektif keagamaan adalah hal-hal yang berkaitan dengan  sikap, nilai, kepribadian, serta akhlak siswa yang selaras dengan pendidikan keagamaan.
b.      Macam-Macam Perilaku
            Perilaku dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :[67]
1)      Perilaku pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi dalam diri manusia dan yang tidak secara langsung dapat terlihat orang lain. (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) artinya seseorang yang memiliki pengetahuan positif untuk mendukung pengelolaan perilaku afektif keagamaan.
2)      Perilaku aktif adalah perilaku yang dapat diamati secara langsung (melakukan tindakan), misalnya: seseorang yang tahu bahwa menjaga perilaku amat penting bagi keagamaannya. ia sendiri melaksanakan dengan baik serta dapat menganjurkan pada orang lain untuk berbuat serupa.
Akhlak dibagi menjadi dua kategori, yaitu akhlak mahmudah dan akhlak mazmumah.[68]
1)      Akhlak Mahmudah, adalah segala macam sikap dan tingkah laku yang baik (terpuji). Akhlak yang terpuji adalah akhlak yang dikehendaki oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Akhlak ini dapat diartikan sebagai akhlak orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
2)      Akhlak Mazmumah, adalah segala macam sikap dan tingkah laku yang buruk (tercela).Adapun akhlak yang tercela adalah akhlak yang dibenci oleh Allah SWT, sebagaimana akhlak orang kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang munafik.

c.       Karakteristik Perilaku Afektif
Dalam ranah afektif ada 5 (lima) tipe karakteristik yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral..
(1)   Sikap adalah suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal.
(2)   Minat merupakan suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh obyek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian.Minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu.
(3)   Konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.
(4)   Nilai merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Perbedaan nilai dengan sikap adalah sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar obyek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan.
(5)   Adapun moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.[69]

d.      Aspek Perilaku Afektif
Aspek afektif ini berhubungan dengan sikap mental, perasaan dan kesadaran siswa. Hasil belajar dalam aspek ini diperoleh melalui proses internalisasi, yaitu: suatu proses ke arah pertumbuhan rohaniah dan batiniyah siswa. Pertumbuhan itu terjadi ketika siswa menyadari suatu nilai yang terkandung dalam pengajaran agama dan kemudian nilai-nilai dijadikan suatu sistem nilai diri sehingga menuntut segenap pernyataan sikap, tingkah laku dan perbuatan moralnya dalam menjalani kehidupan ini. Aspek afektif yang dominan pada mata pelajaran Pendidikan Agama meliputi aspek penanaman nilai-nilai akhlak.[70]
Adapun untuk ciri-ciri dari kelima jenjang afektif sebagai berikut:[71]
Tabel. 1
Ranah Afektif  Sikap (Attitude)

Ranah Afektif  Sikap (Attitude)
No.
Katagori
Penjelasan
Kata Kunci
1
Penerimaan
Kemapuan untuk menunjukkan atensi dan penghargaan terhadap orang lain. Contoh : mendengar pendapat  orang lain, mengingat nama seseorang
menanyakan, mengikuti, memberi, menahan /mengendalikan diri, mengidentifikasi, memperhatikan, menjawab.
2
Responsif
Kemampuan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran dan selalu termotivasi untuk segera bereaksi dan mengambil tindakan atas suatu kejadian. Contoh: berpartisipasi dalam diskusi kelas
Menjawab, membantu, mentaati, memenuhi, menyetujui, mendiskusikan, melakukan, memilih, menyajikan, mempresentasikan, melaporkan, menceritakan, menulis, menginterpretasikan, menyelesaikan, mempraktekkan.
3
Nilai Yang Dianut (Nilai Diri)
Kemampuan menunjukkan nilai yang dianut untuk membedakan mana yang baik dan kurang baik terhadap suatu kejadian/obyek, dan nilai tersebut diekspresikan dalam perilaku.
Contoh: Mengusulkan kegiatan Corporate Social Responsibility sesuai dengan nilai yang berlaku dan komitmen perusahaan.
Menunjukkan, mendemonstrasikan, memilih, membedakan, mengikuti, meminta, memenuhi, menjelaskan, membentuk, berinisiatif, melaksanakan,memprakarsai, menjustifikasi, mengusulkan, melaporkan, menginterpretasikan, membenarkan, menolak,  menyatakan / mempertahankan pendapat,

4
Organisasi
Kemampuan membentuk system nilai dan budaya organisasi dengan mengharmonisasikan
perbedaan nilai. Contoh:  Menyepakati dan mentaati  etika profesi, mengaku perlunya keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab

Mentaati, mematuhi, merancang, mengatur, mengidentifikasikan, mengkombinasikan,
mengorganisisr, merumuskan, menyamakan, mempertahankan,  menghubungkan,
mengintegrasikan, menjelaskan, mengaitkan, menggabungkan, memperbaiki, menyepakati, menyusun, menyempurnakan, menyatukan pendapat, menyesuaikan, melengkapi, membandingkan, memodifikasi
5
Karakterisasi
Kemampuan mengendalikan perilaku berdasarkan nilai yang dianut dan memperbaiki hubungan intrapersonal, interpersonal dan social.
Contoh: Menunjukkan rasa percaya diri ketika bekerja
sendiri, kooperatif dalam aktivitas kelompok
Melakukan, melaksanakan, memperlihatkan membedakan, memisahkan, menunjukkan,
mempengaruhi, mendengarkan, memodifikasi, mempraktekkan, mengusulkan, merevisi,
memperbaiki, membatasi, mempertanyakan, mempersoalkan, menyatakan, bertindak, Membuktikan, mempertimbangkan.


Didalam kontek pendidikan, ranah  afektif   dianggap memiliki substansi yang cukup penting, ada tiga hal yang menjadi alasan :
Pertama, pendidikan afektif adalah pendidikan yang mengupayakan pertumbuhan dan perkembangan emosi (jiwa). Kedua, pendidikan afektif mengembalikan proses yang tidak manusiawi menjadi lebih manusiawi. Ketiga, pendidikan afektif  merupakan hal yang diperlukan untuk keberhasilan pendidikan kognitif. Aspek afeksi memainkan peran utama dalam keberhasilan pembelajaran, aspek afeksi juga dapat membentuk nilai kejujuran, integritas, kepercayaan diri dan sifat-sifat lainnya  ke dalam diri peserta didik.[72]

Dengan demikian maka terbentuknya nilai-nilai kebaikan dalam diri peserta didik maka menjadikannya memiliki perilaku yang baik terutama jika dilihat secara perilaku afektif keagamaan.

e.       Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Afektif
Pembentukan perilaku manusia tidak akan terjadi dengan sendirinya akan tertapi selalu berlangsung dengan interaksi manusia berkenaan dengan obyek tertentu. Sebagaimana dikatakan Jalaludin, bahwa perilaku keagamaan anak atau seseorang terbentuk secara garis besarnya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:[73]
1.      Faktor internal,
yaitu keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa   (anak).[74] yang terdapat  dalam diri  pribadi anak meliputi;
a)      Pengalaman pribadi, maksudnya pengalaman tersebut adalah semua pengalaman yang dilalui, baik pengalaman yang didapat melalui pendengaran, penglihatan, maupun perlakuan yang diterima sejak lahir, dan sebagainya.[75]
b)      Pengaruh emosi, emosi adalah suatu keadaan yang mempengaruhi dan menyertai penyesuaian di dalam diri secara umum, keadaan yang merupakan penggerak mental dan fisik bagi individu dan  dari tingkah laku luar.[76] Emosi merupakan karakter afektif yang menyertai sikap keadaan atau perilaku individu. Zakiyah Darajat mengatakan bahwa sesungguhnya emosi memegang peranan penting dalam sikap dan tindak agama. Tidak ada satu sikap atau tindak agama seseorang yang dapat dipahami, tanpa mengindahkan emosinya.[77]
Oleh karena itu, jika seseorang sedang tidak stabil emosinya maka perasaannya tidak tentram, keyakinannya terlihat maju mundur, pandangan terhadap agama dan tuhan akan berubah sesuai dengan kondisi emosinya pada waktu itu. Jadi, emosi menentukan arah dimana tingkah laku individu turut mengambil bagian dalam setiap situasi kehiduapan.[78]
c)      Minat, minat adalah kesediaan jiwa yang sifatnya aktif untuk menerima sesuatu dari luar.[79] Seseorang yang mempunyai minat terhadap suatu objek yang dilakukannya, maka ia akan berhasil dalam aktifitasnya karena yang dilakukan tersebut dilakukan dengan perasaan senang dan tanpa paksaan. Adapun minat pada agama antara lain tampak dalam keaktifan mengikuti berbagai kegiatan keagamaan, membahas masalah agama dan mengikuti pelajaran agama di sekolah. Misalnya seseorang yang mempunyai minat terhadap pendidikan agama Islam maka ia akan selalu mempelajari segala sesuatunya yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan begitu ia akan berusaha mentaati segala peraturan yang terdapat dalam agama tersebut.  Menurut Jalaludin Rahmat, faktor internal ini digaris besarkan menjadi dua, yaitu faktor biologis dan faktor sosiopsikologis.[80] Faktor biologis  terlihat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor sosio-psikologis. Faktor sosio pikologis manusia sebagai mahluk sosial memperoleh beberapa karakteristik yang mempengaruhi perilakunya, dan dapat di klasifikasikan  tiga komponen, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif.
2.      Faktor eksternal
a)      Interaksi, interaksi merupakan hubungan timbal balik antara orang per orangan, antara kelompok dengan kelompok, atau antar orang perorang dengan kelompok.[81] Apabila dua orang bertemu , berinteraksi, maka akan terjadi saling pengaruh mempengaruhi baik dalam sikap maupun dalam kehidupan sehari-hari.
b)      Pengalaman, sikap manusia pasti mempunyai pengalaman pribadi masing-masing  tentang pengalaman. Zakiah Darajat mengatakan bahwa semua pengalaman yang dilalui orang sejak lahir merupakan unsur-unsur pembentukan pribadinya, termasuk di dalamnya adalah pengalaman beragama.[82]
Oleh karena itu pembentukan perilaku keagamaan hendaknya ditanamkan sejak dalam kandungan. Hal ini karena semakin banyak unsur-unsur agama dalam diri seseorang  maka, sikap, tindakan, tingkah laku dan tata cara orang dalam menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.

3.      Pengelolaan Diri
a.      Pengertian Pengelolaan Diri
Pada dasarnya pengelolaan diri adalah sebuah terminologi psikologis untuk menggambarkan proses pencapaian otonomi diri.[83] Pengelolaan diri adalah suatu pengelolaan individu terhadap dirinya sendiri. Pengelolaan individu ini tentu saja diawali dari pengenalan terhadap kadar kemampuan atau potensi yang dimiliki seseorang, selanjutnya dianalisis dan dilakukan pengembangan diri.[84] Pengelolaan diri merupakan pengelolaan individu yang diawali dari pengenalan terhadap kadar kemampuan atau potensi yang dimiliki seseorang baik itu kekuatan dan kelemahan yang ada pada diri.[85] Di dalamnya terdapat kekuatan psikologis yang memberi arah pada individu untuk mengambil keputusan dan menentukan pilihannya serta menetapkan cara-cara yang efektif dalam mencapai tujuannya. “Terapi (therapy) merupakan perlakuan (treatment) yang ditujukan terhadap penyembuhan suatu kondisi psikologis individu atau siswa”.[86]
Pengelolaan diri meliputi pemantauan diri (self-monitoring), reinforcement yang positif (self-reward), kontrak atau perjanjian dengan diri sendiri (self-contracting), dan penguasaan terhadap ransangan (stimulus control). Management by antecedent dan management by consequence disebut juga sebagai bentuk dari proses intervensi perilaku, yang merupakan implementasi dari teknik kognitif atau afektif. Pada kenyataannya, keempat aspek itu akan saling berkaitan satu sama lain.
Berdasarkan uraian di atas, pengelolaan diri merupakan manajemen diri strategi adalah upaya secaraterus menerus untuk mewujudkan visi dan misi hidup melalui serangkian aksi atau tindakan yang sesuai dengan kekuatan dan kelemahan, serta peluang dan ancaman yang senantiasa dihadapi.[87]
b.      Aspek Pengelolaan Diri
Pengelolaan diri termasuk kedalam salah satu kelima karakteristik kecerdasan emosional yang dipaparkan oleh Goleman yang dijelaskan oleh Baharuddin, bahwa pengelolaan diri (self-regulation), yaitu menangani emosi diri sedemikian  rupa sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum mencapai suatu sasaran; mampu segera pulih kembali dari tekanan emosi. Unsur-unsur self-regulation dimaksud meliputi :[88]
1)      Pengendalian diri (self-control)
2)      Sifat dapat dipercaya (trustworthiness); memelihara norma kejujuran dan integritas.
3)      Kehati-hatian (conscientiousness); bertanggung jawab atas kinerja pribadi; Adaptabilitas (adaptability); keluwesan dalam menghadapi perubahan.
4)      Inovasi (innovation); mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasi-informasi baru.
            Manajemen adalah proses menginterpretasikan, mengkoordinasikan sumber daya, sumber dana dan sumber-sumber lainnya untuk mencapai tujuan dan sasaran melalui tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan dan  penilaian.[89]
Dilihat dari perspektif manajemen,, pengelolaan diri sebagaimana dinyatakan oleh Muhammad Muhyidin “Manajemen diri adalah suatu proses perencanan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengevaluasian segala sifat dan tindak-tanduk diri kita sendiri dengan subyek pelaksana diri kita dan obyek pelaksana juga diri kita sendiri”.[90]

4.      Pengelolaan Perilaku Afektif Keagamaan Siswa
   Konsep diri berperan penting dalam menentukan perilaku seseorang guna mengetahui diri kita sepenuhnya mengatasi konflik yang ada pada dirinya, dan untuk menafsirkan pengalaman yang didapatnya.  Oleh karena itu konsep diri dperlukan seseorang untuk dijadikan sebagai acuan hidup.[91] Kita harus selalu berusaha untuk menundukkan kemarahan, hawa nafsu, ketamakan dan sifat-sifat lain kepada petunjuk syariat agar tujuan dapat tercapai.[92]
Perilaku afektif keagamaan merupakan internalisasi sikap yang menunjuk ke arah pertumbuhan batiniah dan terjadi bila peserta didik menjadi sadar tentang nilai yang diterima, kemudian mengambil sikap sehingga menjadi bagian dari dirinya dalam membentuk nilai dan menentukan tingkah laku yang meliputi aspek penanaman nilai–nilai akhlak. Perilaku afektif keagamaan siswa juga dipengaruhi faktor internal dan eksternal, faktor internal meliputi pengalaman pribadi, pengaruh emosi, dan minat. Sedangkan faktor eksternal meliputi pengalaman dan interaksi.
Keberhasilan seorang siswa tidak diukur dari intelektualnya melainkan didasarkan pada sikap dan tingkah lakunya. Pengamalan atau akhak menunjuk pada seberapa tingkatan siswa sebagai muslim bertingkah laku yang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berhubungan dengan dunianya, terutama dengan manusia lain, baik dengan orang tua, saudara, teman maupun guru.[93]
Arifin menjelaskan bahwa :
Hasil belajar dapat timbul dalam berbagai jenis perbuatan atau pembentukan tingkah laku peserta didik. Jenis tingkah laku itu diantaranya adalah kebiasaan, keterampilan, akumulasi persepsi, asosiasi dan hafalan, pemahaman dan konsep, sikap, nilai, moral dan agama.[94]

Depdikbud Dikdasmen sebagaimana dikutip Ibda menyatakan bahwa :
Pengajaran pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik terhadap agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Subnahu wa Ta’āla serta berakhlak mulia yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.[95]

Azyumardi Azra memperkuat hal tersebut diatas, bahwa : ’Penilaian akhlak mulia yang merupakan aspek afektif dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, sebagai perwujudan sikap dan perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan  YME.[96] Salah satu nilai-nilai dasar dari pendidikan nasional adalah keimanan dan ketaqwaan, yakni bahwa pendidikan harus memberikan atmosfir relegiusitas kepada peserta didik.[97] Sebagai bagian dari Visi Pendidikan Nasional kerangka mikro bahwa  : “Terwujudnya individu manusia Indonesia baru yang memiliki sikap dan wawasan keimanan dan akhlak tinggi dan mulia, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung tinggi HAM, saling pengertian dan berwawasan global.[98]
Nilai-nilai  dari perilaku afektif keagamaan dapat dilihat dari tujuan dari pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama Islam  di Indonesia bahwa:  pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya interaksi manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis. Esensinya sudah tentu untuk memperoleh yang baik, seseorang harus membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan keduanya. Kemudian setelah itu, dapat mengambil kesimpulan dan memilih yang baik tersebut dengan meninggalkan yang buruk. Dengan karakter yang baik maka kita akan disegani orang. Sebaliknya, seseorang dianggap tidak ada, meskipun masih hidup, kalau akhlak atau karakternya rusak.[99]
Zakiyah Daradjat sebagaimana dikutif Munawar Rahmat menjelaskan bahwa salah satu nilai pokok yang harus ditanamkam kepada murid melalui materi keagamaan/PAI adalah  :
Nilai formal, yaitu nilai pembentukan pribadi yang bersangkutan dengan daya serap peserta didik atas segala bahan yang diterimanya. Hal itu berarti sejauh manakah daya serap sehingga ia mampu dengan tenaganya sendiri membentuk kepribadian yang utuh, kokoh dan tahan uji.[100]

Senada dengan Zakiyah Daradjat dikemukakan Solichin bahwa :
Pembelajaran untuk mengembangkan aspek perilaku sebagai tindakan moral, merupakan kemampuan untuk melakukan interaksi sosial dalam mengambil peran sosial serta menyelesaikan pertentangan peran yang berkaitan dengan nilai-nilai moral seperti keadilan, persamaan, keseimbangan dan lain-lain.[101]

Untuk lebih memperjelas deskripsi, dibawah ini diuraikan contoh aspek dan indikator akhlak mulia dan kepribadian.[102]
a.       Kedisiplinan, datang tepat waktu, mematuhi tata tertib, mengikuti kegiatan sesuai jadwal       
b.      Kebersihan, menjaga kebersihan dan kerapihan pribadi (rambut, kuku, gigi, badan, pakaian), menjaga kebersihan dan kerapihan lingkungan (ruang belajar dan halaman a.l. Membersihkan dan merapikan ruang belajar, membuang sampah pada tempatnya,)
c.       Kesehatan, tidak merokok dan minum minuman keras, tidak menggunakan narkoba, membiasakan hidup sehat melalui aktivitas jasmani, merawat kesehatan diri.
d.      Tanggungjawab, tidak menghindari kewajiban, melaksanakan tugas sesuai dengan kemampuan.
e.       Sopan santun, bersikap hormat kepada warga sekolah, bertindak sopan dalam perkataan, perbuatan, dan cara berpakaian, menerima nasehat guru, menghindari permusuhan dengan teman
f.       Percaya diri, tidak mudah menyerah, berani menyatakan pendapat, berani bertanya, mengutamakan usaha sendiri dari pada bantuan
g.      Kompetitif, berani bersaing, menunjukkan semangat berprestasi, berusaha ingin maju, memiliki keinginan untuk tahu
h.      Hubungan sosial, menjalin hubungan baik dengan warga sekolah, menolong teman yang mengalami kesusahan, bekerjasama dalam kegiatan yang positif, mendiskusikan materi pelajaran dengan guru dan peserta didik lain , memiliki toleransi dan empati terhadap prang lain, menghargai pendapat orang lain
i.        Kejujuran, tidak berkata bohong, tidak menyontek dalam ulangan/ujian, melakukan penilaian diri/antar teman secara objektif/apa adanya, tidak berbuat curang dalam permainan, sportif (mengakui keberhasilan orang lain dan bisa menerima kekalahan dengan lapang dada)
j.        Pelaksanaan ibadah ritual, melaksanakan sholat/ibadah sesuai agama yang dianut, melakukan puasa (bagi yang beragama Islam ) pada bulan ramadhan, memimpin doa.



C.      Pembahasan
1.      Analisis Empiris Pengelolaan Perilaku Afektif Keagamaan Siswa
Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapatkan melalui observasi, wawancara, berkaitan dengan hasil penelitian ini maka pengelolaan perilaku afektif keagamaan siswa disekolah tersebut masih mendapat catatan khusus dari teori yang diharapkan karena berbagai kendala dan kesulitan yang dihadapi. Berdasarkan hasil wawancara  dan observasi menyatakan pengelolaan perilaku afektif dilaksanakan untuk melihat konsep diri siswa didalam mengelola perilaku afektif keagamaannya.
Bila melihat teori yang dicetuskan oleh Bloom bahwa perilaku afektif mencakup segala sesuatu yang terkait dengan emosi, misalnya perasaan, nilai, penghargaan, semangat,minat, motivasi, dan sikap.
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh belum cukup sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa perilaku afektif keagamaan pada siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya yaitu keadaan emosional yang dimiliki siswa. Kerentanan emosional sebagai kecenderungan individu untuk mengalami perasaan tidak nyaman, putus asa. Orang-orang yang rentan secara emosional memperlihatkan perilaku afektif yang tidak stabil. Menurut Hude tidak jarang peristiwa-peristiwa yang dialami manusia menjadikannya menangis tersedu-sedu, muka pucat pasi atau merah padam, nada bicaranya terputus-putus, bergetar seluruh tubuhnya, melompat kegirangan, berteriak, membanting pintu dan sebagainya.[103] Hal itu tidak lain dipicu oleh kadar emosi yang amat dalam dan meluap-luap. Kondisi emosional yang dimiliki seseorang dapat memicu terjadinya perilaku afektif keagamaan yang rentan.
Menurut Muhamad Abduh nilai agama adalah yang paling penting dalam kehidupan manusia.[104] Yang berarti  semestinya dikembangkan dalam diri siswa adalah terbangunnya pikiran, perkataan dan tindakan siswa yang diupayakan senantiasa berdasarkan nilai-nilai ketuhanan atau yang bersumber dari ajaran agama. Apabila seseorang mempunyai pengelolaan perilaku afektif keagamaan yang baik terkait dengan Tuhan Yang Maha Esa, seluruh kehidupannya akan menjadi baik. Orang yang mempunyai karakter demikian akan berusaha berperilaku penuh cinta dan kebaikan.[105]
Keberhasilan siswa tidak hanya ditandai dengan prestasi akademisnya saja, tetapi juga harus dilihat dari kemampuan dalam mengendalikan sikap perilakunya terhadap nilai-nilai keagamaan. Menurut Triatna bahwa taraf inteligensi seseorang bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang karena ada faktor lain yang mempengaruhi.[106] Yaitu emosional dalam hal ini sangat dibutuhkan, emosional menentukan apakah seseorang dapat atau tidak mengendalikan perilakunya, khususnya perilaku afektif. Hude menyebutkan ekspresi emosi dalam bentuk tingkah laku cakupannya sangat luas, seluas aktivitas manusia itu sendiri. Semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi.[107]
Masa remaja dianggap sebagai usia bermasalah, menurut Nurihsan & Agustin setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi, baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan.[108] Menurut Willis masa remaja adalah suatu tahap kehidupan yang bersifat peralihan dan tidak mantap, serta masa yang rawan oleh pengaruh-pengaruh negatif, seperti narkoba, kriminal, dan kejahatan seks.[109]
Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa masa remaja merupakan masa yang tidak mantap, remaja mengalami peralihan dan pencarian jati diri. pada masa remaja dianggap sebagai usia bermasalah yang sering ditandai oleh sifat-sifat negatif pada diri remaja, sehingga masa ini seringkali disebut fase negatif karena rawan oleh pengaruh negatif seperti narkoba, kriminal, kejahatan atau kekerasan, dan agresifitas, sehingga menjauhkan remaja dari nilai-nilai afektifitas keagamaannya.


2.      Analisis Empiris Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Perilaku Afektif Keagamaan Siswa
Beberapa faktor yang mempengaruhi pengelolaan perilaku afektif keagamaan siswa yang dapat penulis simpulkan dari beberapa hasil wawancara, yaitu :
a.       Faktor Internal
1)      Motivasi
Motivasi adalah suatu keadaan yang berupa dorongan atau kekuatan yang akan menggerakan suatu individu untuk memperoleh keinginan atau tujuan yang hendak dicapainya dalam sebuah tingkatan yang melahirkan perbuatan kondisi, tindakan atau tingkah laku.
Motivasi lahir dari diri sendiri, artinya bahwa dimanapun berada, nilai-nilai perilaku agama tetap dipelihara. Sebagian siswa memang mengharapkan ingin memperdalam bidang multimedia tanpa meninggalkan kesadaran untuk melaksanakan ajaran agamanya, tetapi ada juga siswa yang memang ingin mencari alasan pembenaran sendiri untuk lebih banyak berkecimpung dibidang multimedia dan mulai lupa akan nilai kesadaran untuk berperilaku agama yang baik.
b.      Faktor Eksternal
1)      Lingkungan, (keluarga, sekolah, masyarakat).
Anak usia SMK saat ini sudah banyak yang tidak rutin /meninggalkan pengajian di rumahnya, pesantren kecil dan besar. Hanya sedikit siswa yang masih melaksanakannya. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai alasan diantaranya : pengawasan orang tua yang rendah, mengikuti ajakan teman yang tidak baik, masyarakat atau lingkungan yang tidak acuh terhadap kehidupan sosial beragama sehingga  hal tersebut tidak kondusif untuk pembentukan sikap perilaku agama anak yang baik.
2)      Perkembangan IPTEK / IT.
Pada saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi informasi mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat. Hal tersebut bukanlah sebuah hal yang tidak baik, tetapi informasi-informasi yang masuk ada sebagian informasi yang terhidang tidak  mendapat saringan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, dan mengancam pola pikir siswa sebagai generasi muda. Internet dengan mudah dan tanpa batas bisa diakses melalui telepon seluler oleh semua kalangan termasuk siswa yang belum siap menerima dengan baik, dan salah satunya berimbas pada sikap perilaku agama yang kurang baik, tidak mau melaksanakan sholat, malas mengaji, malah asyik dengan ponselnya, chating, dan lain-lain.
Hal tersebut sangat memprihatinkan, selain itu media televisi yang notabene hampir dimiliki setiap rumah yang saat ini memiliki banyak saluran hiburan dan bermacam acara yang menyenangkan buat anak, tidak memiliki orientasi yang jelas terhadap tanggung jawab moral masyarakat, sebagai media komersil mereka cenderung mengutamakan hal-hal yang berhubungan dengan financial semata.
Dari uraian tersebut dapat digambarkan pula bahwa kendala yang dihadapi dalam Pengelolaan perilaku afektif keagamaan siswa meliputi:
1.      Belum memiliki sarana ibadah sendiri.
2.      Keterbatasan tenaga guru
3.      Minimnya waktu pelajaran PAI di SMK
Dari dulu hingga sekarang, hal yang menjadi hambatan dalam PAI adalah kurangnya waktu. Dua jam dalam satu minggu merupakan waktu yang singkat dibanding dengan materi banyak yang harus disampaikan pada siswa. Sedikitnya waktu maka sedikit pula frekuensi bertemu dengan siswa. Dengan sedikit waktu terkadang guru terobsesi untuk mengejar materi sehingga kurang tanggap akan keadaan emosi siswa. Maka wajar jika dalam hasil raport siswa tidak sesuai dengan apa yang terjadi pada siswa. Pelajaran umum / eksak lebih besar nilai raportnya dibandingkan dengan pelajaran PAI, bahkan siswa yang berperingkat baikpun, perilakunya tidak mencerminkan sikap perilaku afektif keagamaan yang baik. Sebenarnya pengamatan sikap siswa tidak perlu menggunakan waktu lama, cukup guru melakukan pengawasan siswa dalam aktifitas sehari-hari disekolah, kemudian dievaluasi dan ditindaklanjuti.
4.      Kurangnya pemahaman diri siswa dalam mengelola perilaku afektif
Berdasarkan hasil dari wawancara bahwa penilaian yang dimaksud, hanya menilai keadaan sikap, minat siswa. Hal ini kurang sempurna dengan teori yang telah dikemukakan Bloom. Yaitu menilai sikap, minat, apresiasi, nilai dan penyesuaian. Dengan pemahaman yang dipegang guru PAI, maka perilaku afektif selama ini cenderung terfokus pada sikap minat saja, pemahaman tersebut terbentuk dari referensi yang digunakan sebagai acuan penilaian yaitu buku Pedoman khusus pengembang silabus dan penilaian dari Depdignas dan buku buku lain yang berkaitan dengan KTSP. Buku–buku tersebut hanya menerangkan sedikit teori tentang evaluasi afektif. Dalam buku tersebut banyak menerangkan bahwa penilain afektif PAI adalah akhlak atau sikap dan minat siswa, semua referensi berbicara demikian sehingga wajar kalau pemahaman ini ditransfer oleh guru. Referensi dari buku tersebut memerlukan pemahaman yang lebih mendalam bagaimana seharusnya siswa bisa mengelola perilaku afektif keagamaannya dengan konsep dan teori dan nilai serta norma agama yang seharusnya.
Pengelolaan afektif susah sekali bila diaplikasikan secara ideal. Untuk melihat penilaian baik tidaknya pengelolaan  perilaku afektif keagamaan ini perlu menggunakan kecerdasan emosi dan waktu cukup lama untuk mengamati kebiasaan seseorang. Penelitianpun terkadang tidak berhasil termasuk seorang guru dengan banyak tuntutan yang harus dikerjakan oleh sebab itu penilaian yang dilakukan kurang sempurna.
Dari beberapa kendala dalam hal ini, penulis menganalisa bahwa yang menjadi kendala utama adalah keterbatasan kemampuan siswa dalam pengelolaan  perilaku afektif keagamaan, baik dari pemahaman, memampuan mengolah sikap diri dan melaksanakannya.
Namun dibalik kendala tersebut banyak faktor yang mendukung siswa untuk bisa mengelola perilaku afektif keagamaannya  Faktor- faktor tersebut antara lain :
1.      Adanya dukungan dari kepala sekolah dalam bentuk perhatian, kebijakan dan program yang sudah dipersiapkan, diantaranya persiapan perencanaan pembangunan sarana ibadah sendiri, peningkatan program BTQ, pelaksanaan peringatan hari besar agama dengan menproaktifkan siswanya.
2.      Adanya kemauan keras dan rasa tanggung jawab tinggi guru terhadap nilai-nilai perilaku agama siswanya maka dengan semangat keras guru menanamkan nilai-nilai keagamaan pada siswa dan sekaligus memperhatikan perkembangan jiwa siswa. Terbukti salah satunya dengan adanya program BTQ yang efektif, membaca surat pendek sebelum belajar secara efektif.
Pengelolaan perilaku afektif keagamaan  disadari para ahli bahwa hal tersebut bukan suatu hal yang mudah untuk dilaksanakan, karena hal tersebut membutuhkan pemahaman, pembelajaran yang mendalam sehingga wajar saja seorang siswa sulit untuk mengimplementasikan hal tersebut. Dorongan yang kuat dari sekolah dengan berbagai program dan kegiatan serta keluarga, juga keinginan yang kuat dari diri siswa akan memperbesar harapan seorang siswa bisa mengelola perilaku afektif agamanya dengan baik.

3.      Analisis Empiris Motivasi serta Upaya-upaya yang Dilakukan Sekolah dan Siswa dalam Meningkatkan Pengelolaan Perilaku Afektif Keagamaan Siswa
Berpijak pada kondisi pengelolaan perilaku afektif keagamaan siswa, maka sekolah-sekolah perlu menerapkan sistem baik program pembelajaran ataupun kebijakan yang mendukung pada perkembangan pengelolaan perilaku afektif keagamaan yang baik. Kalau kita perhatikan sekolah yang nota bene unggulan (sudah maju) pun masih mengalami beberapa kendala dalam melakukan dan pengawasan agar siswa dapat mengelola perilaku afektif keagamaannya. Adanya kurikulum KTSP pun masih sulit dilakukan jika dari sekolah tersebut belum ada kebijakan dan program pendukung lainnya. Memang kurikulum sekolah memberi bagian ranah afektif menjadi bagian dari penilaian, guru PAI atau mata pelajaran lainnya menilai afektif siswa, karana hal ini tidak membutuhkan dana, namun membutuhkan perhatian guru terhadap perkembangan jiwa siswa. Kalau memang ada kesediaan dari semua guru maka hal ini sangat mendukung, tidak sekedar hanya catatan akhlak saja. Hal ini sejalan dengan pendapat  Imam Gazali yang menyatakan bahwa salah satu cara untuk memperbaiki akhlak adalah menggunakan sebagian akhlak untuk menghancurkan akhlak yang tidak baik.[110] bahwa kita harus selalu berusaha untuk menundukkan kemarahan, hawa nafsu, ketamakan dan sifat-sifat lain kepada petunjuk syariat agar tujuan dapat tercapai.[111]
Dalam mendukung pada perkembangan pengelolaan perilaku afektif keagamaan siswa yang baik dibutuhkan konsentrasi tersendiri dalam mengamati perkembangan siswa seperti:
1.      Penilaian afektif,
Seorang guru perlu memperhatikan peserta didik perindividu sehingga dalam pembelajaran menggunakan konsep individu meskipun model klasikal, maka jumlah siswa perkelas minimal (10-20) siswa diharapkan pembelajaran akan efektif. Namun rata-rata jumlah siswa dalam kelas (40-50) hal ini menjadi kesulitan guru dalam memperhatikan siswa perindividu.
2.      Waktu yang terbatas
Dua jam pelajaran (90 menit) dalam seminggu merupakan pertemuan singkat antara guru dengan siswa dalam mata pelajaran PAI, hal ini menjadi salah satu kendala dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai afektifitas agama. Guru dan pihak sekolah dituntut untuk mengetahui perkembangan siswa secara individu. siswa dituntut tidak hanya bagus dalam nilai mata pelajaran dan peringkat kelas saja, tetapi juga bisa memahami nilai-nilai afektif agamanya untuk menjadi panduan dalam berperilaku baik disekolah, keluarga maupun lingkungan masyarakat.
3.      Partisipasi dan komunikasi orang tua.
Keterlibatan orang tua berhubungan erat dengan keberhasilan pendidikan anak. Keterlibatan orang tua yang lebih besar dalam proses pendidikan maka berdampak positif pada keberhasilan anak di sekolah. Adanya partisipasi dan komunikasi orang tua dan sekolah juga mendukung prestasi akdemik yang lebih tinggi serta mempengaruhi pada perkembangan semosi dan nilai afektifitas anak.
4.      Kurang ada kebijakan pemerintah dalam penilaian afektif
Terbukti dengan adanya kurikulum konfensional pembelajaran hanya mengedepankan pengetahuan saja tanpa ada perhatian secara emosional, sehingga akibatnya banyak siswa tahu pengetahuan namun akhlak tidak mendukung.






BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah diuraikan di atas beserta pembahasannya ditemukan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Kondisi pengelolaan perilaku afektif keagamaan siswa
 Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh belum cukup sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa perilaku afektif keagamaan pada siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya yaitu keadaan emosional yang dimiliki siswa. Kerentanan emosional sebagai kecenderungan individu untuk mengalami perasaan tidak nyaman, putus asa. Orang-orang yang rentan secara emosional memperlihatkan perilaku afektif yang tidak stabil. Menurut Hude tidak jarang peristiwa-peristiwa yang dialami manusia menjadikannya menangis tersedu-sedu, muka pucat pasi atau merah padam, nada bicaranya terputus-putus, bergetar seluruh tubuhnya, melompat kegirangan, berteriak, membanting pintu dan sebagainya.[103] Hal itu tidak lain dipicu oleh kadar emosi yang amat dalam dan meluap-luap. Kondisi emosional yang dimiliki seseorang dapat memicu terjadinya perilaku afektif keagamaan yang rentan.

2.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Perilaku Afektif Keagamaan Siswa
a.       Faktor Internal
1)      Motivasi
2)      Mulai lemahnya pendidikan agama di luar sekolah (keluarga dan masyarakat )
b.      Faktor Eksternal
1)      Lingkungan, (keluarga, sekolah, masyarakat).
2)      Perkembangan IPTEK / IT.

3.      Memotivasi Serta Upaya-upaya yang Dilakukan Sekolah dan Siswa dalam Meningkatkan Pengelolaan Perilaku Afektif Keagamaan Siswa
a.      Upaya Sekolah
1)      Memaksimalkan peran PKS Kesiswaan.
2)      Meningkatkan dan memaksimalkan Program BTQ dalam kegiatan ekstrakurikuler.
3)      Kegiatan siswa sebagai penyelenggara dan pengisi acara keagamaan.
4)      Peningkatan pembinaan, pengarahan dengan rasa kekeluargaan yang baik, juga menanamkan nilai kepribadian social, solidaritas dilingkungan sekolah.
5)      Menumbuhkan kesadaran siswa untuk lebih mengoptimalkan mengelola perilaku afektif agamanya.
6)      Menerapkan doa dan baca surat pendek sebelum belajar.
b.      Upaya Siswa
1)      Belajar dan berusaha, mempunyai sifat diri yang baik, terus berlatih dengan rutin. Menunjukkan perilaku penuh semagat, berusaha, tawakal, berdo’a.
2)      Memiliki prinsip hidup dan memahami atas prinsip hidup tersebut
3)      Melakukan kegiatan yang bermanfaat, mencoba untuk lebih baik dari hal-hal lainnya, mensyukuri yang dikaruniakan tuhan, belajar memperbaiki diri.
4)      Memperdalam agama dan ilmu pengetahuan, berusaha menjadi diri sendiri yang setidaknya bisa jadi contoh orang lain, meningkatkan kedisiplinan, menjauhi hal yang kurang baik dan berusaha lebih baik, harus memperbaiki hidup dan akhlak perilaku
5)      Taat agama, taat orang tua, mengurangi hal-hal yang kurang baik,, memperbaiki kesalahan.dan tidak mengulanginya, bergaul dengan teman yang dianggap baik, mandiri, tidak bergantung pada orang lain, sadar diri dan berusaha ingin jadi lebih baik
6)      Melakukan yang diinginkan dengan cara yang benar.
7)      Memahami bahwa peran keluarga juga penting agar menjadi pribadi yang baik.

B.     Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1.      Pemerintah
Terutama Depdiknas RI, seharusnya memerhatikan pembangunan kultur akhlak mulia di sekolah yang hingga sekarang belum menjadi perhatian utamanya, mengingat begitu pentingnya masalah ini. 
2.      Sekolah
a.       Pihak sekolah memberi perhatian yang serius dalam pembangunan kultur akhlak mulia di sekolah, mengingat begitu pentingnya upaya ini dilakukan bagi para siswa.
b.      Para guru hendaknya menjadi teladan bagi para siswanya dan memperbaiki strategi belajar dan ketauladanan dalam pembangunan kultur akhlak mulia di sekolah.
c.       Guru PAI hendaknya lebih banyak memberikan reward atau pujian kepada siswa yang bersikap perilaku baik serta memberikan pembinaan yang berkesinambungan pada siswa yang belum memiliki pengelolaan perilaku afektif agamanya dengan baik mengadakan kegiatan kajian, keteladanan ataupun mentoring agar dapat menambah pemahaman agama siswa tentang perilaku afektif.
d.      Hendaknya lebih banyak mengadakan kerja sama dan pertemuan sebagai media komunikasi yang baik dengan orang tua atau wali murid untuk membahas perkembangan perilaku afektif keagamaan siswa.

3.      Siswa
a.       mengetahui hasil belajar  dengan lebih baik
b.      mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam PAI.
c.       Memotivasi diri untuk belajar lebih baik.
d.      Diharapkan siswa lebih meningkatkan pengelolaan perilaku afektif tidak hanya di sekolah tetapi juga di rumah dengn kesadaran diri sendiri.
e.       Siswa hendaknya aktif mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang lebih membantu dalam pengembangan pemahaman pengetahuan agama dan kesadaran beragama.

4.      Orang Tua
a.       Orang tua siswa jangan hanya mengandalkan sekolah dalam membangun akhlak mulia para siswa, tetapi orang tua siswa harus mendukung sekaligus mengawal anak-anaknya dalam pembangunan kultur akhlak mulia ini.
b.      Lebih banyak memberikan teladan sikap beragama yang baik.
c.       Menciptakan suasana keagamaan di lingkngan keluarga yang dapat mendorong anak untuk memahami ajaran agama Islam secara benar dan bersungguh-sungguh untuk mau menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.
d.      Meluangkan sebagian waktu untuk berkumpul dengan keluarga dan memberikan nasehat dan teguran bagi siswa yang belum melaksanakan nilai-nilai perilaku afektif agama.

5.      Lingkungan / Masyarakat
a.       Komite sekolah dan masyarakat hendaknya memberi dukungan penuh kepada sekolah yang menerapkan pembangunan kultur akhlak mulia bagi para siswa. 
b.      Lingkungan / masyarakat luas ikut bertanggung jawab secara moral dan social atas perilaku siswa-siswi sebagai generasi muda.

C.    Rekomendasi
Gambaran empiris kondisi pengelolaan perilaku afektif keagamaan siswa yang masih menjadi catatan khusus dalam aspek inovasi, menyesuaikan diri, kedisiplinan, sopan santun, percaya diri, kompetitif, pelaksanaan ibadah ritual, menunjukkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhinya baik faktor internal maupun faktor eksternal, kondisi objektif di lapangan memperlihatkan beberapa indicator tersebut belum menunjukan maksimalnya pengelolaan perilaku afektif keagamaan siswa.
Dalam upaya memperbaiki hal tersebut, berikut ini dikemukakan rekomendasi kaitannya dengan aspek pengelolaan perilaku afektif keagamaan siswa yakni sebagai berikut:
1.      Sekolah Sebagai Lembaga Pendidikan.
a.       Sekolah sebaiknya merumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah yang mengarah pada pengelolaan perilaku afektif keagamaan siswa yang baik.
b.      Diperlukan adanya persepsi yang sama di antara civitas sekolah dan orang tua siswa serta masyarakat dalam rangka mewujudkan perilaku afektif keagamaan siswa yang baik.
c.       Untuk pengembangan akhlak mulia di sekolah diperlukan juga kesadaran yang tinggi bagi seluruh civitas sekolah untuk mewujudkannya.
d.      Adanya komitmen yang tegas dari kepala sekolah untuk mewujudkan kultur akhlak mulia di sekolah yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan atau program-program yang jelas.
e.       Adanya program-program dan tata tertib sekolah yang tegas dan rinci serta mengarah pada pengembangan kultur akhlak mulia di sekolah.
f.       Adanya pembiasaan nilai-nilai akhlak mulia dalam aktivitas sehari-hari di sekolah baik dalam aspek keagamaan maupun aspek yang bersifat umum.
g.      Adanya dukungan positif dari semua pihak yang terkait dalam mewujudkan kultur akhlak mulia di sekolah.
h.      Ada keteladanan dari para guru (termasuk kepala sekolah) dan para karyawan sekolah.
i.        Adanya sinergi antara tiga pusat pendidikan, yakni pendidikan formal (sekolah), pendidikan informal (keluarga), dan pendidikan nonformal (masyarakat) untuk mewujudkan kultur akhlak mulia bagi para siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah.
j.        Perlu juga didukung adanya reward and punishment yang mendukung terwujudkan kultur akhlak mulia di sekolah. 
k.      Membangun kultur akhlak mulia membutuhkan waktu yang lama dan harus dilakukan secara berkelanjutan.
l.        Membangun kultur akhlak mulia perspektif Islam meliputi dua dimensi hubungan, yakni hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia.
m.    Membangun kultur akhlak mulia tidak hanya melalui mata pelajaran tertentu, tetapi sebaiknya melibatkan semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
2.      Visi dan Misi Sekolah
Terwujudnya visi, misi, dan tujuan sekolah ini perlu didukung dengan program-program sekolah yang tegas dan rinci dalam rangka pengembangan kultur akhlak mulia di sekolah. Program- program ini akan berjalan dengan baik dan berhasil jika mendapatkan dukungan yang positif, berupa:
a.       Komitmen dari pimpinan sekolah,
b.      Dukungan semua guru, karyawan sekolah, orang tua siswa, komite sekolah, dan masyarakat,
c.       Sarana dan prasarana yang memadai,
d.      Kurikulum,
e.       Tata tertib sekolah,
f.       Kesadaran yang tinggi dari semua civitas sekolah,
g.      Keteladanan dari para guru dan karyawan sekolah,
h.      Kebersamaan sekolah, keluarga, dan masyarakat,
i.        Reward and punishment, dan
j.        Dilakukan secara berkesinambungan.





DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir, (Bogor: Pustaka Imam Syafii, Jilid 2, 2003).
Ahmadi, Abu, Psikologi Sosial. (Jakarta: Rineka Cipta, 1991).
Aman, Saifuddin, 8 Pesan Lukman Al-Hakim. (Jakarta: Almawardi Prima, 2008).
AR, Zahruddin,. Pengantar Ilmu Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
Ardani, M., Akhlak Tasawuf, ( PT. Mitra Cahaya Utama, 2005).
Arifin, Zaenal, Evaluasi Pembelajaran, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam  Kementerian Agama, 2012).
Arikunto, Suharsimi,  Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010).
Arikunto, Suharsimi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta,  2002).
Azra, Azyumardi,  Pendidikan Akhlak dan Budi Pekerti  ‘Membangun kembali anak Bangsa’ Dalam Jurnal Pendidikan Akhlak  No. 1/XX/2001.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Depag R.I, 2000).
Azzet, Akhmad Muhaimin, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia.
Baharuddin, dkk, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta : Ar-RuzzMedia, 2008).
Buletin Jumat Al Manshuroh, ”Tiga Nasihat Berharga”, dalam Edisi 298/ Tahun VIII/ Rajab 1433 H/ Juni 2012.
Burhanudin, Tamyiz,  Akhlak Pesantren, (Yogyakarta: Ittiqo Press, 2001).
Crow, Lester D. dan Crow, Alice, Psikologi Pendididkan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1948).
Darajat, Zakiah, Kepribadiam Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983).
Darajat, Zakiah, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Moral, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982).
Darajat, Zakiyah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996).
Darajat, Zakiyah, Metode Khusus pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Bumi Aksara,1995).
Depag RI, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Dirjen Bimbingan Islam, 1985).
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Duta Ilmu, 2009).
Departemen Pendidikan Nasional, Penyusunan Laporan Hasil Belajar Peserta Didik, (Jakarta; 2008).
Depdiknas, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Depdiknas, tt).
Direktorat Pembinaan SMA, Juknis Penyusunan Perangkat Penilaian Afektif Di SMA, (Jakarta: 2010).
Djarot, Totok, Manajemen Penerbitan Pers, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000).
Gazali, Imam & Muhayan, Mujahidin, Ihya Ulumiddin Jalan Menuju Penyucian Jiwa, (Jakarta: Pena Pundi Asmara, 2010).
Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007).
H.R. Ibnu Majah dari Ali bin Abi Talib No.64.
Haryu, “Aplikasi Psikologi Humanistik Dalam Dunia Pendidikan Di Indonesia (Konsep Arthur W. Combs Tentang Pengembangan Potensi Anak”, dalam Tadrîs Volume 1.Nomor 1. 2006.
http://muslimpolitan.com/2014/10/konsep-diri-seorang-mukmin/
Hude, M.D. Emosi : Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Alquran. (Jakarta : Erlangga, 2006)
Ibda, Fatimah,  Pendidikan Moral Anak Melalui Pengajaran Bidang Studi PPKn Dan Pendidikan Agama’, dalam  Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XII, No. 2, Februari 2012.
J. Centi, Paul,  Mengapa Rendah Diri,(Yogyakarta : Kanisus, 1993).
Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).
Julaiha, Siti,  “Self Management dalam membangun potensi Da’I”, dalam Jurnal MD Vol. l No.1 Juli-Desember 2008.
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, Dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1985 ).
Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1993).
M. Arifin, Tatang, Menyususn Perencanaan Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007).
Muntholiah, Konsep Diri Positif Menunjang Prestasi PAI, (Semarang: Gunung Jati dan Yayasan Al-Qur’an,  2002).
Nafis, Muhammad Wahyuni, “Referensi Historis Bagi Dialog Antar Agama”, dalam Passing Over
Nasution, Harun,  Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003).
Nata, Abuddin & Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005).
Notoatmojo, Soekidjo, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997).
Nurihsan, A,J & Agustin, M. Dinamika perkembangan anak dan remaja. (Bandung: Refika Aditama, 2013).
Poerbakawatja, Soegarda, dan Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1982).
Pramudia, Joni Rahmat, “Orientasi Baru Pendidikan Perlunya Reorientasi Posisi Pendidik  Dan  Peserta Didik”, Dalam Jurnal Pendidikan Luar Sekolah, Vol. 3  No.1,  Nopember 2006 : 29-38.
Prasetya, Sigit, Dkk, “Landasan Konstruktivistik Dalam Landasan-Landasan Pendidikan Dan Pembelajaran Bagian III, (Universitas Negeri Malang; Pasca Sarjana, Program Studi Dokotor Manajemen Pendidikan, 2012).
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008).
Raco, J.R., Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Grasindo, 2010).
Rahmat , Jalaudin, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992).
Rahmat, Munawar  dkk, Seminar Pendidikan Agama Islam, (Bandung: UPI Press, 2007).
Retno Utari , “Taksonomi Bloom”  dalam Jurnal Widyaiswara Madya, Pusdiklat KNPK.
Rosidin, “Membedah  Orientasi,  Sikap  Dan  Perilaku  Keagamaan”,  dalam Jurnal Islam  Indonesia;  Volume 1,  Nomor 1, 2009 / 1431 H.
Rusmilati, Aida, Model Kurikulum Integrasi Pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di SMA Negeri 3 Madiun, (Malang: Tesis tidak diterbitkan, Universitas Muhamadiyah Malang, 2007).
Sadulloh, Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2006).
Saebani, Beni Ahmad dan Hamid, Abdul, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2010).
Salim, Hadiyah, Tarjamah Mukhtarul Ahadits,(Bandung ; Alma’arif, 1981).
Sarwono, Jonathan, Metode Penelitian  Kuantitatif & Kualitatif, (Yogyakarta; Graha Ilmu,2006).
Shaleh, Abdul Rahman, Pendidikan Agama dan Keagamaan; Visi, Misi dan Aksi, (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000).
Soerjono, Seokanto, Sosiologi Suatu Pengnatar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000).
Solichin, M. Muchlis, “Pengembangan Evaluasi Pendidikan Agama Islam  Berbasis Ranah Afektif”, dalam Tadrîs. Volume 2. Nomor 1. 2007.
Sudrajat,  Ajat, “Manusia Dan Masalah Moralitas  Dalam Perspektif Islam” dalam pidato ilmiah yang disampaikan pada Upacara Wisuda Sarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Masjid Syuhada (STAIMS)  Yogyakarta, Tanggal 31 Maret 2010.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta,  2005).
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2010).
Sugiyono.. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D), (Bandung: Alfabeta,  2009).
Suharyat, Yayat, “Hubungan Antara Sikap, Minat Dan Perilaku Manusia”, dalam Region  Volume I. No. 2. Juni 2009.
Sumantri, Mulyani & Syaodih, Nana, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007).
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan; Suatu Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000).
Syahridlo, “Pengaruh Prestasi Pelajaran Agama Terhadap Sikap Keagamaan Siswa Madrasah Aliyah Negeri Bantul” Dalam Tesis. Magister Psikologi UNY 2004.
Thantawy,  Kamus Istilah Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Grasindo,  2005).
Triatna, Cepi dan Risma Kharisma. EQ Power Panduan Meningkatkan Kecerdasan Emosional. (Bandung: Citra Praya, 2008).
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Willis, S.S, Remaja dan Masalahnya Mengupas berbagai bentuk kenakalan remaja, Narkoba, Free sex dan Pemecahannya, (Bandung: Alfabeta, 2012).
Winarno, Jacinta,   Emotional Intelegence Sebagai Salah Satu Faktor Penunjang Prestasi Kerja”, Dalam Jurnal Manajemen, Vol.8, No.1, November 2008.
Yaqin, Ainul,  Efektivitas Pembelajaran Afeksi di Madrasah/Sekolah”,  dalam Islamica, Vol. 6, No. 1, September 2011.
Yusuf, Syamsul,  Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000).
Zahruddin  AR,. Pengantar Ilmu Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). 

[1] Rosidin, “Membedah  Orientasi,  Sikap  Dan  Perilaku  Keagamaan”,  dalam Jurnal Islam  Indonesia;  Volume 1,  Nomor 1, 2009 / 1431 H, hlm. 162-163.
[2] Abu Ahmadi, Psikologi Sosial. (Jakarta: Rineka Cipta, 1991); hlm.  191.
[3] Haryu, “Aplikasi Psikologi Humanistik Dalam Dunia Pendidikan Di Indonesia (Konsep Arthur W. Combs Tentang Pengembangan Potensi Anak”, dalam Tadrîs Volume 1.Nomor 1. 2006, hlm.  76.
[4] Joni Rahmat Pramudia, “Orientasi Baru Pendidikan Perlunya Reorientasi Posisi Pendidik  Dan  Peserta Didik”, Dalam Jurnal Pendidikan Luar Sekolah, Vol. 3  No.1,  Nopember 2006 : 29-38, hlm. 1.
[5] Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab 1, Pasal 1, ayat 1.
[6] Munawar Rahmat,  dkk, Seminar Pendidikan Agama Islam, (Bandung: UPI Press, 2007); hlm. 170.
[7] Abdul Rahman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan; Visi, Misi dan Aksi, (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000); hlm. 40
[8] Depdiknas, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Depdiknas, tt); hlm. 238.
[9] Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional; Bab II, Pasal 3.
[10]  Jacinta Winarno, “ Emotional Intelegence Sebagai Salah Satu Faktor Penunjang Prestasi Kerja”, Dalam Jurnal Manajemen, Vol.8, No.1, November 2008, hlm 15
[11] Soekidjo Notoatmojo, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997); hlm. 118.
[12] Depag RI, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta, Dirjen Binbingan Islam, 1984/1985); hlm. 155.
[13] SMK Mandalasari Cikancung belum memiliki sarana ibadah, selama ini mereka melaksanakan ibadah shalat di Mesjid Agung Bintang Raya yang terletak di seberang sekolah tersebut.
[14] Sesuai dengan studi awal observasi yang dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2015.
[15] Harun Nasution,  Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003); hlm.  65.
[16] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Duta Ilmu, 2009); hlm. 85.
[17] Hadiyah Salim, Tarjamah Mukhtarul Ahadits, (Bandung ; Alma’arif, 1981); hlm. 817
[18] Siti Julaiha, “Self Management dalam membangun potensi Da’I”, dalam Jurnal MD Vol. l No.1 Juli-Desember 2008, hlm. 37.
[19]  Ibid, hlm. 39.
[20]  Depag RI, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Dirjen Binbaga Islam, 1985); hlm.55
[21] Zakiyah Darajat, Metode Khusus pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Bumi Aksara,1995), hlm. 197-205
[22]  Depag RI, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Dirjen Binbaga Islam, 1984/1985); hlm.55
[23]  Zahruddin AR,. Pengantar Ilmu Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004); hlm.4
[24] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Duta Ilmu, 2009); hlm. 85.
[25] Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir, (Bogor: Pustaka Imam Syafii, Kilid 2,  2003); hlm. 138
[26] Buletin Jumat Al Manshuroh,”Tiga Nasihat Berharga”, dalam Edisi 298/ Tahun VIII/ Rajab 1433 H/ Juni 2012, hlm. 1
[27] Lebih lanjut lihat di  http://muslimpolitan.com/2014/10/konsep-diri-seorang-mukmin/, diakses tanggal 20 Agustus 215.
[28] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Duta Ilmu, 2009); hlm. 237.
[29] Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005); hlm.  274.
[30] Hadiyah Salim, Tarjamah Mukhtarul Ahadits, (Bandung ; Alma’arif, 1981); hlm. 817
[31] H.R. Ibnu Majah dari Ali bin Abi Talib No. 64.
[32] Harun Nasution,  Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003); hlm.  65.
[33] Uyoh Sadulloh,, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2006); hlm. 101.
[34] Ajat Sudrajat, “Manusia Dan Masalah Moralitas  Dalam Perspektif Islam” dalam Pidato ilmiah yang disampaikan pada Upacara Wisuda Sarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Masjid Syuhada (STAIMS)  Yogyakarta, Tanggal 31 Maret 2010, hlm. 9
[35] Paul, J. Centi, Mengapa Rendah Diri,(Yogyakarta : Kanisus, 1993); hlm. 9.
[36] Muntholi‟ah, Konsep Diri Positif Menunjang Prestasi PAI, (Semarang: Gunung Jati dan Yayasan Al-Qur’an,  2002); hlm. 33.
[37] Retno Utari, “Taksonomi Bloom”  dalam Jurnal Widyaiswara Madya, Pusdiklat KNPK. hlm.  2.
[38] Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam  Kementerian Agama, 2012); hlm. 49.
[39] Retno Utari, “Taksonomi Bloom”  dalam Jurnal Widyaiswara Madya, Pusdiklat KNPK. hlm.  4
[40] Sigit Prasetya, Dkk, Landasan Konstruktivistik  Dalam Landasan-Landasan Pendidikan Dan Pembelajaran Bagian III, (Universitas Negeri Malang; Pasca Sarjana, Program Studi Dokotor Manajemen Pendidikan, 2012);  hlm. 253.
[41] Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam  Kementerian Agama, 2012); hlm. 49.
[42] Munawar Rahmat,  dkk, Seminar Pendidikan Agama Islam, (Bandung: UPI Press, 2007); hlm. 171.
[43] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008); hlm.  18.
[44]  Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2006);  hlm.    49
[45] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008); hlm. 18.
[46] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, Dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1985 ); hlm. 144-145.
[47] Muhammad Wahyuni Nafis, “Referensi Historis Bagi Dialog Antar Agama”, dalam Passing Over, hlm. 80
[48] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2006); hlm. 52.
[49] Mulyani Sumantri & Nana Syaodih, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007); hlm.  4.12.
[50] Syahridlo, “Pengaruh Prestasi Pelajaran Agama Terhadap Sikap Keagamaan Siswa Madrasah Aliyah Negeri Bantul” Dalam Tesis. Magister Psikologi UNY 2004; hlm. 22
[51] Azyumardi Azra, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Depag R.I, 2000); hlm. 25. 
[52] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008); hlm.  1161.
[53] Soekidjo Notoatmojo, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997); hlm.  118.
[54] Yayat Suharyat, “Hubungan Antara Sikap, Minat Dan Perilaku Manusia”, dalam Region  Volume I. No. 2. Juni 2009, hlm. 17
[55] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008); hlm.  16.
[56] Lebih lanjut lihat di  http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/15/penilaian-ranah-afektif/, siakses tanggal 20 Agustus 2015.
[57] Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam  Kementerian Agama, 2012); hlm.  49.
[58] Ainul Yaqin,   Efektivitas Pembelajaran Afeksidi Madrasah/Sekolah”,  dalam Islamica, Vol. 6, No. 1, September 2011, hlm.    191.
[59] Ibid.
[60] M.Muchlis Solichin, “Pengembangan Evaluasi Pendidikan Agama Islam  Berbasis Ranah Afektif”, dalam Tadrîs. Volume 2. Nomor 1. 2007, hlm.  88.
[61] Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam  Kementerian Agama, 2012); hlm.  189.
[62] Direktorat Pembinaan SMA, Juknis Penyusunan Perangkat Penilaian Afektif Di SMA, (Jakarta: 2010); hlm.  47.
[63]Departemen Pendidikan Nasional, Penyusunan Laporan Hasil Belajar Peserta Didik, (Jakarta; 2008); hlm.  2.
[64] Zahruddin AR,. Pengantar Ilmu Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004); hlm.  4.
[65] M. Ardani,  Akhlak Tasawuf, (PT. Mitra Cahaya Utama, 2005); hlm.  29.
[66] Zahruddin AR,. Pengantar Ilmu Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004); hlm.  4-5.
[67] Soekidjo Notoatmojo, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997); hlm. 120-121.
[68] Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2010); hlm. 200.
[69] Ainul Yaqin,  Efektivitas Pembelajaran Afeksidi Madrasah/Sekolah”,  dalam Islamica, Vol. 6, No. 1, September 2011, hlm.  194.
[70] Departemen Pendidikan Nasional, Penyusunan Laporan Hasil Belajar Peserta Didik, (Jakarta: 2008); hlm.  2.
[71] Retno Utari, “Taksonomi Bloom”  dalam Widyaiswara Madya, Pusdiklat KNPK. hlm.   4-5.
[72] Ainul Yaqin,  Efektivitas Pembelajaran Afeksidi Madrasah/Sekolah”,  dalam Islamica, Vol. 6, No. 1, September 2011, hlm. 195.
[73]  Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 199
[74] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan; Suatu Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000); hlm.132
[75]  Zakiah Darajat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Moral, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 120 
[76]  Lester D crow dan alice crow, Psikologi Pendididkan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1948), hlm. 116
[77]  Syamsul Yusuf,  Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), cet.I, hlm. 115
[78]  Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hlm. 77
[79] Soegarda Poerbakawatja dan Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 214
[80] Jalaudin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992); hlm. 34.
[81] Seokanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengnatar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000); hlm 67.
[82] Zakiah Darajat, Kepribadiam Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 11
[83] lebih lanjut lihat di http://www.autism.org/selfmanage.html, diakses tanggal 22 Agustus 2015.
[84] Siti Julaiha, Self Management dalam membangun potensi Da’I, dalam Jurnal MD Vol. l No.1 Juli-Desember 2008, hlm. 37.
[85] Ibid,  hlm. 33.
[86] Thantawy, Kamus Istilah Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Grasindo,  2005); hlm.  56.
[87] Siti Julaiha, Self Management dalam membangun potensi Da’I, dalam Jurnal MD Vol. l No.1 Juli-Desember2008, hlm. 40.
[88] Baharuddin, dkk, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta : Ar-RuzzMedia, 2008); hlm. 158.
[89] Totok Djarot, Manajemen Penerbitan Pers, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000); hlm. 96.
[90] Muhyidin, Muhammad, Cara Islami Melejitkan Citra Diri, (Jakarta: Lentera, 2003); hlm. 227-228
[91] Muntholi‟ah, Konsep Diri Positif Menunjang Prestasi PAI, (Semarang: Gunung Jati dan Yayasan Al-Qur’an,  2002); hlm. 33.
[92] Imam Gazali, Mujahidin Muhayan, Ihya Ulumiddin Jalan Menuju Penyucian Jiwa, (Jakarta: Pena Pundi Asmara, 2010); hlm. 258
[93] Tamyiz Burhanudin,  Akhlak Pesantren, (Yogyakarta: Ittiqo Press, 2001);  hlm.  51.
[94] Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, (Jakarta; Direktorat Jendral Pendidikan Islam  Kementerian Agama, 2012); hlm.  404.
[95] Fatimah Ibda, ‘Pendidikan Moral Anak Melalui Pengajaran Bidang Studi PPKn Dan Pendidikan Agama’, dalam  Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XII, No. 2, Februari 2012,  hlm.  339.
[96] Departemen Pendidikan  Nasional, Penyusunan Laporan Hasil Belajar Peserta Didik, (Jakarta;2008); hlm.  12.
[97] Azyumardi Azra, “Pendidikan Akhlak dan Budi Pekerti  ‘Membangun kembali anak Bangsa’ Dalam Jurnal Pendidikan Akhlak  No. 1/XX/2001, hlm.  27.
[98] Ibid, hlm.  27.
[99] Saifuddin Aman. 8 Pesan Lukman Al-Hakim. (Jakarta: Almawardi Prima, 2008);  hlm.  25.
[100] Munawar Rahmat,  dkk, Seminar Pendidikan Agama Islam, (Bandung: UPI Press, 2007); hlm. 173.
[101] M. Muchlis Solichin, “Pengembangan Evaluasi Pendidikan Agama Islam  Berbasis Ranah Afektif”, dalam Tadrîs. Volume 2. Nomor 1. 2007, hlm.  88.
[102] Departemen Pendidikan Nasional, Penyusunan Laporan Hasil Belajar Peserta Didik, (Jakarta: 2008); hlm.  13-14.
[103] Hude, M.D. Emosi : Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Alquran. (Jakarta : Erlangga, 2006); hlm. 14-15
[104] Munawar Rahmat,  dkk, Seminar Pendidikan Agama Islam, (Bandung: UPI Press, 2007); hlm. 171.
[105] Akhmad Muhaimin Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia, hlm. 88.
[106] Cepi Triatna, dan Risma Kharisma. EQ Power Panduan Meningkatkan Kecerdasan Emosional. (Bandung: Citra Praya, 2008); hlm. 30
[107] Daniel. Goleman, Kecerdasan Emosional, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007); hlm. 7
[108] A.J. Nurihsan, A,J & M. Agustin,  Dinamika perkembangan anak dan remaja. (Bandung: Refika Aditama, 2013); hlm. 71
[109] S.S. Willis, Remaja dan Masalahnya Mengupas berbagai bentuk kenakalan remaja, Narkoba, Free sex dan Pemecahannya, (Bandung: Alfabeta, 2012); hlm. 1.
[110] Ibid, hlm. 259
[111] Imam Gazali, Mujahidin Muhayan, Ihya Ulumiddin Jalan Menuju Penyucian Jiwa, (Jakarta: Pena Pundi Asmara, 2010); hlm. 258.

Posting Komentar

0 Komentar